KOMPAS.com - Manusia memang aset terpenting dari perusahaan. Namun,
sampai saat ini kita memang sulit untuk bisa menghitung dengan tepat
berapa kekuatan sesungguhnya yang dimiliki seorang karyawan. Tidak
seperti mesin yang bisa dengan jelas kita ukur kapasitas produksinya,
kita sadari bahwa kinerja dan kontribusi karyawan bisa digenjot naik,
bisa juga turun secara tajam. Bukankah banyak karyawan yang dalam
assessment dinilai memiliki kompetensi tinggi, tapi di tempat kerja
melempem dan sama sekali jadi tidak menonjol? Ada karyawan yang
berprestasi di satu tim, namun begitu dipindahkan ke tim atau lokasi
lain langsung melorot kinerjanya. Sebaliknya, kita juga melihat ada tim
yang jumlahnya kecil atau kemampuan individualnya biasa-biasa saja, bisa
jadi tim yang sangat hebat dan produktif, bahkan mengalahkan tim yang
jumlahnya lebih besar. Di sini kita jelas melihat bahwa ada kekuatan
lain yang tidak bisa dilihat dan diukur dengan analisa beban kerja
sekalipun. Terbukti pula bahwa, kekuatan individu itu memang bisa
dilipatgandakan.
Seorang kepala cabang yang dituntut untuk meningkatkan penjualan sering
berdalih kekurangan orang dan meminta tambahan anggota tim. Sering
terjadi, walau orangnya sudah ada, tetap saja penjualan tidak kunjung
bergerak mencapai target. Divisi SDM sering mengeluhkan, mengapa SDM
yang ada tidak bisa dimanfaatkan. Seakan tambahan karyawan baru menjadi
investasi yang sia-sia. Jadi, individu sendirian tidak bisa menghasilkan
sesuatu yang luar biasa. Lagi-lagi, kita diingatkan bahwa yang kita
garap tidak selamanya individunya, tetapi justru perilaku kolektif dari
sekelompok orang.
Spirit kolektif
Seorang manager berkomentar: ”Kenapa ya, kalau di suruh bekerja sama
susah, tetapi bila protes mereka bersatu?” Di salah satu perusahaan,
para anggota manajemen puncak bisa secara teratur makan siang bersama,
berkeluh-kesah mengenai perusahaan sebagai musuh bersama, namun begitu
disuruh berkoordinasi atau mengatur strategi tiba-tiba menjadi tidak
kompak, bahkan tercerai-berai.
Seorang ahli psikologi sosial mengatakan, bahwa sifat dari perilaku
kelompok itu sangat emosional, dan bahkan sering tidak rasional. Hal ini
bisa kita buktikan sendiri bahwa dalam keadaan panik, gembira sekali,
ataupun marah, tiba-tiba individu dalam kelompok bisa bersatu, saling
mendukung, mengeroyok, bergerak ke satu arah sesuai komando. Inilah yang
menjawab betapa membahayakan spirit bonek, Arema, Jakmania, yang sering
kuat, bertenaga sampai-sampai tidak terkontrol.
Kekuatan kelompok memang tidak bisa kita anggap main-main. Bila individu
dalam kelompok mempunyai rasa yang sama dan berfokus pada single issue,
maka sudah pasti kekuatan kelompok jadi berlipatganda. Unsur-unsur
inilah yang dimanfaatkan oleh perusahaan yang berhasil mengangkat spirit
karyawannya. Hal yang sangat penting juga adalah collective mind-nya.
Mereka menghipnotis anggota kelompok untuk berpikir dan berkeyakinan
sama, membuat individu siap menyatukan visi dan menghapus sikap
selfishness-nya.
Dalam Indonesia HR Summit 2010 yang baru diselenggarakan di Bali
beberapa waktu lalu, Ishadi SK, komisaris TransTV mengutarakan, betapa
spirit organisasi terbangun dengan kejelasan dan kesadaran pada kesamaan
misi. Beliau mengatakan lebih lanjut bahwa employee partnership hanya
bisa didapatkan perusahaan bila karyawan memiliki dan merasa menguasai
tujuan dan misi perusahaan. Semakin mulia, konkrit dan trendi misinya,
semakin dibelilah purpose-nya oleh karyawan TransTV. Bila ini terjadi,
karyawan bisa sampai memeras tenaga tanpa hitung-hitungan dan bahkan
rela bekerja sampai lupa waktu. Siapa yang menonjol? Kelompoknya,
perusahaannya, bukan individunya, bahkan produknya.
Karyawan sebagai “co-creator”
Kita kerap bertanya-tanya, apakah seorang pemain bola kelas kakap,
seperti Wayne Rooney, jika pindah klub, akan bisa menjamin performa
seperti di klub terdahulu? Kita semua menyadari bahwa walaupun
permainannya terhebat, ia belum tentu bisa berkinerja optimal di tempat
yang baru. Hal ini tentunya tidak disebabkan oleh keadaan situasi tim
yang baru saja, tetapi apakah dia mengontribusikan seluruh kapasitasnya
secara all out di tim barunya. Hal ini lagi-lagi adalah sekadar kekuatan
emosi dan mental.
Hal yang juga sudah tidak disangsikan lagi, generasi muda yang banyak
dikenal dengan genY, hanya mau mengontribusikan segenap kapasitasnya,
bila kelompok, lembaga, atau perusahaan membuat agar ia merasa seperti
co-creator, dalang, ikut menentukan nasib perusahaan. Di sinilah emosi
individu menggerakkan dirinya untuk mengeluarkan seluruh ketrampilan dan
kompetensi individual ke dalam kekuatan tim. Setiap orang perlu merasa,
bahwa dialah yang membuat tim atau perusahaan berubah, bahkan maju.
Dan, sikap ini sangat emosional. Ken Blanchard dalam bukunya High Five!
The Magic of Working Together, menyatakan: ”The Warriors realized that
working together as a team would get them closer to their goal than all
playing for individual benefit.”
Utamakan "gerak"
Bila kita ingin menggerakkan individu, kita memang perlu memanfaatkan
gerak untuk menghidupkan perilaku kelompok ini. Gerak membuat suasana
jadi dinamis, memberi kesiapan untuk berubah. Di perusahaan di mana
pemimpin mematikan semangat anak buah, misalnya dengan tidak merespek
dan mengecilkan upayanya, sering kita lihat efeknya adalah si individu
membeku, berhenti berpikir, tidak bersedia untuk mencoba, tidak
bergerak. Di perusahaan yang saya kenal dinamis, speed seakan sudah
menjadi budaya perusahaan. Setiap permintaan direspons segera, mereka
berjalan dengan cepat, bahkan berlari saat naik-turun tangga.
Keseragaman perilaku bergerak ini serta-merta menjadikan perusahaan
bersemangat untuk maju.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
BAGAIMANA MEMAKNAI KERJA
Jika seseorang diberi tanggung jawab untuk menjadi penyapu jalan, ia
harus melakukan tugasnya seperti apa yang dilakukan oleh pelukis
Michelangelo, atau seperti Beethoven mengkomposisikan musiknya, atau
seperti Shakespeare menulis sajaknya. Ia harus menyapu jalan
sedemikian baiknya, sehingga semua penghuni surga dan bumi berhenti
sejenak dan berkata, di sini hidup seorang penyapu jalan jempolan yang
melakukan tugasnya dengan baik".
- Martin Luther King -
Pada suatu hari, nampak tiga orang tukang batu yang sedang bekerja
keras membangun suatu bangunan. Tukang pertama, yang berada di paling
ujung ditanya, "Apa yang sedang anda kerjakan, dan bagaimana perasaan
anda melakukan kerja ini ?" Dia menjawab "Saya sedang menata batu-batu
ini menjadi sebuah tembok. Malas juga sebenarnya melakukan kerja ini.
Kalau ada pekerjaan lain yang lebih enak, secepatnya saya akan pindah".
Tukang kedua, yang berada di sebelahnya juga ditanya pertanyaan yang
sama, dan dia menjawab dengan bersungut-sungut "Saya melakukan suatu
tugas senilai 5 dollar sejam. Dengan tugas seberat ini dan kami harus
melakukannya sepanjang hari, seharusnya kami digaji dua kali lipat.
Kami merasa hanya sebagai sapi perah, dipaksa bekerja keras, dan
nantinya mereka yang mendapatkan hasil paling banyak .....".
Tukang ketiga, dengan pertanyaan yang sama pula, menjawab "Saya sedang
menjadi bagian dari suatu sejarah, di mana setiap detil dari bangunan
ini akan saya sentuh sehingga menjadi sempurna. Kelak, apabila
bangunan ini sudah jadi, saya akan mengajak anak saya berjalan-jalan
di depannya, dan bisa berkata dengan bangga pada anak saya, bahwa
dibalik bangunan megah ini, ada sentuhan dari ayahnya yang membuatnya
menjadi sempurna ........"
Menarik untuk mengambil makna dari cerita diatas. Jika cerita tersebut
ditarik ke dalam kehidupan karir anda, tukang batu yang manakah yang
mirip dengan situasi anda saat ini ?
Tipe tukang pertama, adalah mereka yang diistilahkan sebagai OPERATOR.
Mereka akan menjalankan tugas berdasarkan apa yang diperintahkan oleh
atasan, tapi tidak pernah berpikir apa tujuan yang ingin dicapai dari
apa yang mereka lakukan tersebut.
Tipe tukang kedua, diistilahkan sebagai MONEY-ACTION VALUATOR, di mana
mereka selalu menilai apa yang mereka kerjakan dengan sejumlah uang.
Seringkali orang-orang seperti ini mengeluh tentang kecilnya
penghasilan mereka dibanding dengan kerja yang mereka lakukan, tanpa
mereka mau melakukan perbaikan.
Dan tipe ketiga, adalah seorang VISIONER, dimana mereka bisa melihat
ke depan, manfaat besar apa yang bisa mereka raih dari hal-hal kecil
yang mereka lakukan saat ini.
Sebagai seorang profesional misalnya, kita mempunyai banyak rekan
kerja yang sama dengan kita. Tapi MAKNA dari pekerjaan yang kita
lakukan setiap hari, akan menggerakkan ATTITUDE kita, dan memberikan
HASIL yang berbeda dalam jangka panjang.
Pertanyaan penting sebelum anda memulai perjalanan karir anda menuju
sukses adalah, apakah pekerjaan yang anda lakukan sekarang merupakan
pekerjaan yang anda dambakan dan senangi ? Adakah rasa bangga terhadap
apa yang anda kerjakan sekarang ? Jika tidak, maka hanya ada dua
pilihan, yaitu berusaha untuk mencintainya, atau keluar dari pekerjaan
anda sekarang dan mencari pilihan karir lain yang sesuai dengan
keinginan anda. Jika anda memaksakan bekerja di bidang yang membuat
anda merasa tertekan sepanjang hari, hanya karena tidak ada perusahaan
lain yang mau menerima anda, maka bersiaplah untuk menderita lebih
lama lagi.
Bagaimana jika kita bekerja karena uang, bukankah memang uang adalah
salah satu pendorong kita bekerja ? Memang benar. Tapi kita juga perlu
menyadari bahwa uang adalah HASIL AKHIR dari suatu tindakan yang kita
lakukan sebelumnya. Yang perlu kita renungkan disini adalah bagaimana
attitude kita dalam melakukan tindakan sehari-hari, sebelum kita
menerima upah kita di akhir bulan. Jika kita hanya menyukai uangnya,
bukan pekerjaannya, maka kita akan dengan mudah menyerah dan mungkin
mencoba-coba mencari lowongan baru jika merasa sudah mentok, atau ada
halangan yang menghadang di depan.
Orang-orang yang mencintai pekerjaannya, selalu mencari tantangan baru
di dalam karirnya. Jika mereka merasa tantangan mereka di kantor sudah
mentok, barulah mereka mencoba mencari hal-hal baru yang bisa
ditingkatkan dari profesi mereka. Sayang sekali memang, jumlah orang
seperti ini tidak begitu banyak. Kualitas orang seperti ini begitu
menonjol dibanding rekan-rekannya, bahkan kualitasnya seringkali
terdengar hingga keluar perusahaan. sehingga tidak mengherankan jika
banyak perusahaan lain yang juga tertarik dan berusaha membajaknya
untuk pindah ke tempat lain. Dan mereka pun jika akhirnya mau
berpindah, bukan hanya karena iming-iming uang yang menggiurkan, tapi
karena mereka juga melihat kesempatan di tempat lain dimana mereka
mempunyai peluang untuk menjawab tantangan yang lebih besar.
Akhir kata, cobalah untuk melihat ke dalam diri anda saat ini. Apakah
makna pekerjaan bagi anda saat ini ? Dan termasuk type manakah cara
kerja anda, operator, money-action valuator, ataukah visioner ? Belum
terlambat untuk mulai berubah dan mencintai pekerjaan anda, serta
melakukan yang terbaik demi kesuksesan karir anda ke depan. Sukses
untuk anda !
Semoga bermanfaat……..
SULITNYA MENJADI ATASAN
KOMPAS.com - Komentar kedatangan orang nomor satu Amerika Serikat ke
Indonesia, segera saja mewarnai hampir seluruh media televisi di negara
kita. Apakah Anda tergoda untuk menghitung, berapa banyak komentar
negatif dan komentar positif yang dilontarkan? Mana yang lebih dominan?
Kita pun segera menyadari bahwa saat bicara mengenai situasi negara,
lembaga atau situasi kerja, jarang sekali kita menemukan hanya komentar
positif saja. Dalam banyak situasi, buntut-buntutnya sikap, tindakan,
atau gaya kepemimpinan atasan dipersalahkan. Alangkah sulitnya jadi
atasan.
Saya mendengar seorang anak buah mengomentari atasannya, ”Dia memaksa
kita menegakkan aturan absensi, tapi dia sendiri tidak mau absen.
Alasannya dia bekerja dari rumah, memeriksa pekerjaan dan mengirimkan
email, sejak pukul 04.00. Tapi, bukankah dia juga tidak memberi contoh?”
Bawahan lain berkomentar, ”Dia tidak mengukur kemampuan bawahan,
semuanya dia atur berdasarkan ukurannya sendiri. Bukankah kita tidak
punya kapasitas sama dengannya?”
Posisi atasan memang jelas-jelas lebih terlihat, gerak-geriknya diikuti,
sikapnya diperhatikan orang, dan sudah pasti dikomentari. Ada atasan
yang peka, namun ada juga yang pura-pura tidak tahu. Ada atasan yang
terganggu, mencari tahu siapa yang memberi komentar memprovokasi, namun
ada juga yang melihat ini sebagai kenyataan hidup yang harus dinikmati
saja. Pantas saja kita kerap menemukan atasan yang akhirnya menutup
telinga ketat-ketat dan akhirnya menjadi single player, melakukan one
man show atau bahkan menjadi diktator, juga menghindar untuk
berkomunikasi dengan bawahannya. Situasi ini memang dilematis, karena
bisa membuat atasan jadi jauh dari tim, kemudian kesulitan untuk
menemukan perbaikan dalam diri sendiri, tim dan anak buah.
Manfaatkan kegagalan tim
Seorang ahli manajemen pernah mengemukakan bahwa salah satu tes untuk
melihat bagus-tidaknya seorang atasan atau pemimpin adalah bagaimana
sikapnya dalam menghadapi kesalahan yang dibuat anak buah. Ada atasan
yang mengatakan, ”Yah, kalau sudah terjadi mau diapakan lagi…”, tanpa
menyadari bahwa kejadian tersebut bisa dijadikan ajang pembelajaran yang
baik. Ada atasan yang langsung menghukum dan mengeluarkan surat
peringatan. ”Kalau tidak, mereka tidak pernah belajar dari kesalahan!
Mereka harus bisa menghitung, berapa kerugian perusahaan sebagai akaibat
dari kecerobohannya”. Atasan lain bisa juga menggunakan prinsip,
”Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Artinya,
sekali berbuat kesalahan, anak buah langsung dicoret dari daftar orang
yang kompeten. Alangkah merugikannya situasi-situasi demikian!
Kegagalan dan kesalahan biasanya memang dilakukan oleh bawahan, bukan
atasan langsung. Namun, bukankah kita perlu ingat ungkapan: ”Failure
sucks but instructs”, dan “No learning without failure”? Kita memang
juga perlu bersikap hati-hati dengan kesalahan, apalagi bila
bersinggungan dengan nyawa manusia, misalnya saja kegagalan bedah atau
penerbangan. Namun, seorang profesor yang menekuni kepemimpinan,
mengemukakan bahwa inovasi dan kreativitas sangat sulit terjadi bila
kita tidak pernah mengalami kegagalan. Beliau mengungkapkan: "Seorang
pemimpin atau atasan yang sukses biasanya adalah pemimpin yang justru
bisa mengelola kesalahan-kesalahan yang terjadi, bahkan sudah
memprediksinya, namun ia tetap mampu mengajak seluruh tim mengambil
manfaat dari kondisi tersebut.”
Kita memang perlu berlatih untuk mengkomunikasikan kesalahan yang
terjadi secara diplomatis. Rasa bersalah, merasakan kegagalan perlu ada,
bahkan sense of crisis dan urgensinya, tetapi semangat bouncing back
tetap harus terjaga. Mengemukakan kesalahan di dalam sebuah forum
sebenarnya juga tidak salah, apalagi bila membahasnya sebagai studi
kasus, tetapi tentunya pelaku kesalahan tidak boleh merasa terbantai,
malu sehingga semua orang belajar untuk takut berbuat salah. Dalam
sebuah learning organization semua kesalahan harus tercatat dan
didokumentasikan sebagai bahan pelajaran bagi generasi berikutnya.
Dimaafkan? Diingat? Atau dilupakan?
Pernahkah menemukan atasan yang bersikap mengancam dan mengatakan,
“Sekali berbuat salah, kamu akan saya pindahkan ke posisi yang tidak
menyenangkan”, atau “Kalau saya bisa tidak berbuat salah, Anda juga
bisa”. Bayangkan bagaimana suasana tim yang tercipta dengan pendekatan
ini. Suasana yang mencekam sudah pasti akan mematikan kreativitas tim,
sekaligus mematikan kepercayaan anak buah pada atasannya.
Jika kita sungguh-sungguh ingin menjadi atasan yang baik, kita memang
perlu bermain di tepi jurang kesuksesan dan kesalahan. Atasan yang baik
siap dengan langkah mundur, punya kemampuan membangun trust anak buah
dan memberi atmosfir yang menyediakan rasa aman secara psikologis.
Kesalahan yang diungkit-ungkit terus tentu saja hanya menimbulkan rasa
malu, menjatuhkan moral, dan memupuk sakit hati pada orang yang
melakukan kesalahan. Namun, sebetulnya tidak berarti juga bahwa
kesalahan harus dimaafkan dan kemudian dilupakan.
Hal yang paling penting tentu adalah memaafkan dan sekaligus mengajak
timnya untuk mengingat kesalahan tersebut agar bisa belajar dari
kesalahan yang pernah terjadi. Kita perlu punya kemampuan untuk
memaafkan karena kesadaran bahwa manusia tidak mungkin beroperasi dengan
zero error. Tantangan atasan adalah untuk tidak berfokus semata pada
kesalahan dan kerugian saja, namun mem-balance antara komunikasi asertif
dan diplomasi. Kita tentu juga perlu menghadapi sikap defensif bawahan
dan menembusnya secara halus dan menyenangkan.
Hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah sikap objektif. Seorang teman
saya yang sukses, mengatakan bahwa ia selalu mengingatkan bawahannya
untuk menyampaikan berita disertai fakta, contoh, juga nama pelaku.
“Semua komentar umum dan tidak spesifik, tidak akan masuk pertimbangan
saya”. Ia berkata bahwa untuk menilai kesalahan kita tidak bisa
menggunakan asumsi dan berandai-andai karena akan menyulitkan dalam
mengkalkulasikan resiko dan memprediksikan kerugian maupun keuntungan
dengan lebih tepat.
Dengan senantiasa berorientasi pada objektivitas, kita bisa membuat diri
kita menjadi atasan yang lebih “cool”, karena segala kecelakaan,
kesalahan dan kerugian sudah terhitung. “Bila data sudah di tangan, kita
tinggal memikirkan action yang akan dilakukan," demikian komentarnya.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
KECINTAAN PEKERJAAN
Bila anda tidak mencintai pekerjaan anda,maka cintailah orang-orang yang
bekerja disana.Rasakan kegembiraan dari pertemanan itu.Dan,pekerjaan
pun jadi menggembirakan.
Bila anda tidak mencintai rekan-rekan kerja anda,maka cintailah suasana
dan gedung kantor anda. Ini mendorong anda untuk bergairah berangkat
kerja dan melakukan tugas-tugas dengan lebih baik lagi.
Bila toh anda juga tidak bias melakukannya,cintai setiap pengalaman
pulang pergi dari dan ketempat kerja anda. Perjalanan yang menyenangkan
menjadikan tujuan tampak menyenangkan juga.
Namun, bila anda tidak menemukan kesenangan disana,cintai apapun yang bisa anda cintai dari kerja anda